3 Feb 2015

Ketika Berita menjadi ajang Sandiwara

I know i know, gue gagal dalam mengikuti challenge 1day1dream. Gue sibuk banget 2 minggu terakhir ini. Itu yang nyebabin gue jadi nggak sempet ngeblog. Anyway, walau gagal dalam challenge bukan berarti gue nggak boleh ngeblog lagi kan? :p

Oke skip masalah kegagalan gue dalam mengikuti challenge 1day1dream.


Lo tau nggak drama korea berjudul “Pinochio” (au dah tulisannya bener apa kaga)? Bagi yang tau, bagus. Gue kasih jempol buat lo. Bagi yang gak tau, bakal gue jelasin. Menurut gue ini drama korea terbagus yang pernah gue tonton. Terbukti, drama yang diperanin Park Shin Hye ini menduduki urutan pertama di setiap minggunya di korea. Drama ini gue sebut bagus bukan tanpa alasan. Dari isi ceritanya dan cara si sutradara menggiring penontonnya untuk ikut masuk ke dalam ceritanya pun amat bagus.

Drama korea ini bercerita tentang Cho Dal Pho, anak yatim piatu yang trauma dengan wartawan karena keluarganya hancur berantakan karena berita bohong yang disampaikan wartawan ke publik. Ayahnya meninggal dalam insiden kebakaran, namun ayahnya justru dituduh sebagai orang yang bertanggungjawab atas insiden itu. Ibunya yang frustasi karena tersudutkan di masyarakat, memilih untuk mengakhiri hidupnya. Sedangkan kakanya, tetap hidup dengan menyimpan dendam kepada wartawan. Dendam yang menjadi bom waktu dan siap meledak kapan pun.

Cho Dal Po sendiri awalnya diajak bunuh diri oleh ibunya dengan cara menceburkan diri ke laut. Namun, ada kakek yang menemukan tubuhnya di laut. Kakek itu lah yang menyelamatkan ia dan membesarkannya. Ia diangkat anak oleh kakek itu. Di situ lah Cho Dal Pho bertemu Cho in ha, cucu kakek itu. Mereka tumbuh besar bersama sampai akhirnya mereka saling mencintai satu sama lain. Loh? Kok ceritanya gak nyambung sama judulnya? Nyambung kok. “Pinocio” di dalam drama itu adalah sebuah penyakit. Penyakit tidak bisa bohong. Biasanya dalam cerita pinocio jika berbohong hidungnya akan memanjang, tapi di drama ini jika berbohong orang itu akan cegukan. Yap, Cho in ha mengidap penyakit pinocio (penyakit ini hanya ada dalam drama loh ya. Hanya fiktif belaka).

Drama ini menekankan tentang sebuah kejujuran yang amat berarti. Cho In ha dan Cho Dal Pho membuktikan bahwa wartawan harus bersikap selayaknya wartawan dengan menyajikan fakta, bukan drama atau isu yang belum jelas adanya.

Ini adalah sebuah realita yang ada di kehidupan kita.

Gue masih inget banget waktu ada seminar tentang berita di kampus gue. Kebetulan narasumbernya adalah produser di salah satu acara gosip di stasiun tv swasta. Saat itu, gue ngebet banget pengen nanya, tapi sayangnya pertanyaan gue udah duluan ditanyain sama salah satu mahasiswa yang ikutan seminar itu. Apaan far pertanyaannya? Pertanyaannya simpel aja, yaitu “kenapa selalu menyajikan berita buruk? Padahal ada berita baik pula yang bisa disampaikan”. Lo tau nggak jawabannya apa? Dia menjawab “karena berita buruk akan lebih banyak peminatnya.”

Gue pun menganalisa beberapa berita yang sekarang ini acap kali nongol di tv. Lo pasti tau berita apa yang lagi heboh hebohnya. Yap, KPK vs Polri atau cicak vs buaya. Menurut analisis gue, dari pemberitaan mengenai foto mesra abraham samad sampai penangkapan Bambang Widjoyanto adalah berita berita yang sengaja ditongolin untuk menutupi hal besar yang seharusnya diberitakan. Hal besar? Apaan tuh, far? Perpanjangan kontrak Freeport. Dan itu sudah ditandatangani. Itu berarti, negara kita kembali dikeruk emasnya oleh Amerika. Amerika kaya dan kita tetap begini... miskin.
Tau tentang korupsi Transjakarta yang dituduhkan pada Jokowi? Muncul kepermukaan untuk beberapa saat dan menghilang begitu saja tanpa ada proses hukum. KPK diam saja.

PDIP merupakan partai yang anggotanya banyak melakukan korupsi. Tapi yang terekspos siapa? Hanya demokrat dan PKS. Kenapa? Kenapa bukan PDIP yang diekspos? Ada apa dengan media? Kenapa hal besar justru ditutupi oleh hal hal kecil?  

Tentang Abraham samad yang foto mesranya beredar di internet, gue menganalisis bahwa hal itu justru memang sengaja dilakukan oleh orang orang di belakangnya. Kenapa demikian? Karena orang yang telah mengedit foto mesra itu gak diapa-apain. Abraham Samad hanya mengklarifikasi foto itu tanpa ada permintaan agar orang yang telah mengedit itu diproses secara hukum. Padahal mengedit seperti itu jatohnya adalah “pencemaran nama baik” bukan? Hal hal seperti itu dilakukan untuk menutupi mata rakyat agar tidak melihat persoalan yang lebih besar dari hal itu. Tau sendiri lah ya, rakyat kalo tau sesuatu hal hebohnya begimana? Apalagi kalo mereka tau kontrak freeport diperpanjang berpuluh puluh tahun. Bayangin, puluhan tahun. Itu sama aja negara dijual sama si banteng itu.

Dari awal gue gak milih Jokowi jadi presiden ya karena orang di belakangnya jauh lebih bahaya dari orang orang di belakang Prabowo. Mereka pintar membuat drama, makanya rakyat tidak terlalu melihat boroknya partai berlambang banteng itu. Ya, itu lah hebatnya media. Mereka menggiring kita untuk berpikir sesuai apa yang mereka sajikan.

Begitu menyeramkannya sebuah media jika berada di tangan “politik”

Guys, ini hanya analisis gue. Benar atau kah salah, kalian nggak perlu ambil pusing itu. Toh, gue juga nggak maksa kalian untuk berpikir seperti apa yang gue pikir. Ini hanya analisis dari rakyat biasa yang bahkan bukan seorang sarjana.  


1 komentar:

  1. Kak, gue setujuuuuu. Kenapa infotainment harus blow up berita buruk? Karena yang paling laku ya itu... -_-

    BalasHapus

Ngasih komentar di blog ini termasuk sedekah loh :p

© Coretan Kecil Seorang Jilbaber 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis