Hidup adalah sebuah pilihan, bukan? Ya, bahkan hal terkecil
pun harus kita pilih. Seperti, apakah akan mandi hari ini atau tidak? Apakah yang
akan kita makan siang ini? Apakah akan minum air dingin atau air hangat? Dan lain
sebagainya.
Setiap hal yang kita pilih nantinya akan menjadi sebuah
kejutan kehidupan. Seperti ketika gue memutuskan untuk masuk SMP ketimbang
mengambil sekolah agama (MTS). Dan, setelah masuk SMP gue dikejutkan dengan
kehidupan SMP yang rata-rata anak borjuis. Dibully karena bukan anak orang kaya
dan tidak cantik adalah hal termenyakitkan yang pernah gue rasakan ketika duduk
di bangku SMP dulu. Sempat ada rasa sesal kenapa gue harus memilih masuk SMP
kala itu. Tapi, gue pun sadar, itu adalah pilihan yang gue ambil sendiri dan
gue harus bertanggungjawab penuh dengan pilihan itu sekaligus menghadapi segala
resikonya. Untungnya, gue nggak selamanya kena bully ketika SMP. Menginjak bangku
kelas 3, gue dipertemukan dengan teman-teman yang begitu menyayangi gue.
Seenggaknya, gue lulus dengan keadaan tenang dan memiliki teman. Alhamdulillah.
Lulus SMP, lagi-lagi gue dihadapkan pada sebuah pilihan. Karena
nem gue yang tidak terlalu tinggi, gue gagal masuk SMA negeri favorit. Gue
harus memilih masuk SMA Cendrawasih atau Dharma Karya. Pilihan itu menjadi
sangat sulit ketika gue dihadapkan pula dengan kondisi ekonomi keluarga gue
yang pas-pasan. Kala itu, ekspektasi gue adalah kalau gue masuk Cendrawasih,
gue akan mendapatkan pendidikan yang lebih layak, tapi harus mengeluarkan uang
yang lebih banyak karena biaya di sana lebih mahal ketimbang di Dharma Karya. Sedangkan,
kalau gue memilih Dharma Karya, pendidikannya tak sebagus Cendrawasih, namun
biayanya lebih murah.
Sebelum gue memilih, nyokap memberi wejangan ke gue. Dan
pada akhirnya, gue pun memilih masuk Dharma Karya. Ketika gue mulai mengenyam
pendidikan di sana, nggak pernah terbersit rasa menyesal karena memilih sekolah
itu. Kenapa? Karena sekolah itu berskala kecil, hubungan antarsiswa maupun
siswa dan guru lebih dekat tanpa sekat. Pendidikannya pun tak seburuk apa yang
sebelumnya gue pikir. Gue banyak mendapat ilmu terutama dari
pelajaran-pelajaran yang gue suka, Bahasa Indonesia, Bahasa Jepang, dan
Sejarah. Tak hanya itu, mungkin jika gue memilih cendrawasih, gue nggak akan
mengikuti ekskul marawis, padus, nasyid, atau bergabung dalam band sekalipun.
Dan yang lebih nggak membuat gue menyesal adalah, gue bisa mengenal pria
bernama Yudi yang membuat gue semangat belajar dan mampu menaklukkan
pelajaran-pelajaran yang gue benci (matematika, fisika, dan kimia).
Lulus SMA, gue harus memilih kampus mana yang akan menjadi
tempat gue menimba ilmu selanjutnya. Pertama kali gue memilih kampus PNJ. Di
sana gue mendaftar lewat bidik misi. Beasiswa undangan. Sekolah gue mendapat
undangan dari PNJ untuk mengirimkan nama-nama siswa yang ingin masuk ke sana.
Mendengar kata “bewasiswa” membuat gue semangat untuk mendaftar. Kurang lebih
ada 4 orang yang mendaftar dan hanya gue yang diterima. Gue nggak pernah
menyangka gue akan diterima di PNJ. Namun, sebelum pemberitahuan gue diterima
itu, gue telah lebih dulu terdaftar sebagai mahasiswa di Politeknik Negeri
Media Kreatif (POLIMEDIA) jurusan Penerbitan. Gue gagal masuk PNJ sekaligus
mendapat beasiswa karena gue lebih memilih masuk POLIMEDIA. Gue sempat
menyalahkan diri sendiri ketika akhirnya takdir gue berbelok dari apa yang orangtua
gue mau. Tapi kemudian, gue pun kembali bersyukur karena telah memilih
POLIMEDIA sebagai tempat gue menimba ilmu setelah lulus SMA. Gue mendapatkan
ilmu yang gue inginkan “penulisan dan desain”.
Dan kini, gue kembali dihadapkan pada sebuah pilihan yang
nantinya akan membuat hidup gue lebih baik atau stak tak bergerak.
Well, ini lah kehidupan. Selalu penuh kejutan di dalamnya. Bagaimanapun
keadaan nantinya ketika kita telah memilih, kita tetap harus menghadapinya,
menghadapi konsekuensi apapun karena itu adalah pilihan kita. Kehidupan yang
kita jalani, kita lah tokoh utamanya. Kita yang menentukan ke arah mana kita
bergerak.
Lebih baik hidup dengan menerima segala resiko dari pada
mati sia-sia karena putus asa.
Setuju, kita memang tokoh utama yg berperan dalam suatu pilihan. Namun bahkan untuk hal yg kita ngerasa gak punya pilihan sekalipun. Menerimanya atau menyesalinya. tulisan bagus.
BalasHapusyap, betul sekali. maka dari itu "life is a choice, dud" :D terimakasih ^_^
BalasHapus