Ketulusan, apa sih itu ketulusan? Ketulusan adalah ketika lo
berbuat sesuatu untuk orang lain, lo nggak mengharapkan apa-apa untuk
balasannya. Ketulusan berlaku juga untuk urusan cinta. Dan, tadi malam gue
dapet ilmu “ketulusan” dari salah satu temen gue. Dari sekian banyak pengalaman
yang gue dapet, gue baru sadar kalau selama ini gue belum mengenal dengan baik apa
itu ketulusan.
Mungkin salah satu dari kalian juga sama kaya gue. Kalian masih
belum memahami betul seperti apa bentuk ketulusan. Ketulusan bukan melulu
tentang pengorbanan ini itu. Bukan pula tentang seberapa beraninya dia nemuin
bokap lo terus bilang “pak, saya mencintai anak bapak.” Bukan. Ketulusan lebih
bermakna dari semua serangkaian hal-hal itu. Bukan berarti dengan gue bilang “tulus”
berarti pengorbanan nggak dibutuhkan. Bukan. Pengorbanan tetap penting, tapi
ketulusan juga penting. Mereka berdua sama-sama penting.
Pernah nggak kalian kenal seseorang, disaat lu nangis bombay
karena diputusin pacar lo, dia bersedia meladeni segala curhatan lo, rela
banget dijadiin tempat pelampiasan amarah lo yang harusnya lo kasih unjuk ke
orang yang mutusin lo. Atau, pernah nggak lo kelaperan banget, dan lo bilang ke
itu orang terus itu orang bilang “yaudah yuk kita makan di resto mana aja
sesuka lo.” Kedua contoh di atas nggak hanya berlaku untuk cewek tapi juga
untuk cowok. Nggak hanya berlaku untuk gebetan, tapi juga untuk teman.
Sayangnya, banyak orang sepertinya tertipu oleh ketulusan
palsu. Bahkan nggak bisa membedakan mana yang benar-benar ketulusan. Sehingga,
beberapa orang membuang orang-orang tulus dari hidupnya, dan menarik masuk
orang-orang dengan ketulusan palsu ke dalam hidupnya.
Gue pernah mengenal dan dekat seseorang, gue sebut “pernah”
karena sekarang kami tak sedekat dulu, cukup saling mengenal. Itu juga karena
ulah gue makanya kami udah nggak deket. Oke, back to story... Kami kenal juga
nggak sengaja. Setiap kali gue galau, gue curhat sama dia. Dan dia, sebisa mungkin
menenangkan gue dengan berbagai cara, mulai dari mendengarkan curhat gue sampai
mengajak gue ke tempat-tempat yang menurutnya bisa membuat otak gue fresh,
membuat gue lebih ceria, dan bisa melupakan masalah-masalah gue. And, it’s
work. Keseringan sih dia ngajak gue ke taman. Karena dia tau banget kalau gue
itu doyan narsis, dan setiap narsis mungkin dia liat gue lebih ceria kali ya. Makanya,
dia mengajak gue ke tempat tempat yang view nya bagus.
Dari semua perlakuan dia ke gue, gue menarik simpulan kalau
dia suka sama gue, tapi dia nggak pernah nembak gue sama sekali loh. Nggak
pernah. Bahkan ngegombalin gue pun nggak. Pernah sekali dia bilang gue cantik,
tapi ujung-ujungnya dia bilang “cantik kalau diliat dari tugu monas. Hahaha”.
Rese emang. Tapi gue tau, dia sebenarnya benar-benar memuji gue, tapi diselipi
candaan. Bukan karena gue ge er. Tapi, karena dia emang jarang mengucapkan kata
“cantik, manis” atau apalah itu yang bikin cewe-cewe ngefly.
Seperti yang gue beritahu tadi, kami sekarang nggak terlalu
dekat. Itu karena gue menarik diri dari kehidupannya. Kenapa? Gue takut dia bener-bener
jatuh cinta sama gue, gue takut makin lama gue deket sama dia, rasa miliknya
akan terus tumbuh dan tumbuh. Sedangkan gue, gue bahkan nggak pernah kepikiran
untuk jatuh cinta sama dia. Karena sedari awal, gue berniat untuk temenan sama
dia. Entah pilihan gue benar atau nggak.
Penarikan diri gue nggak langsung begitu aja, tapi
berangsur-angsur. Gue mulai dari jarang membalas chatnya entah itu di WA atau
di FB. Itu supaya dia nggak terlalu kaget ketika gue tiba-tiba benar-benar
menghilang. Sampai suatu waktu, gue rasa itu saat yang tepat untuk benar-benar
hilang. Awalnya dia masih suka ngechat dengan mengajak gue bercanda atau
sekedar meledek gue. Tapi, gue nggak bales. Mungkin dia sadar kali ya gue
menjauh, dia pun menghilang pula secara perlahan.
Beberapa bulan lalu, ketika Pemilu partai, gue dapet tugas
untuk jadi saksi. Kebetulan, gue dapet tugasnya di TPS dekat rumah dia. Dan dia
ikutan membantu membereskan TPS, jadilah kami bertemu di sana. Walau udah nggak
pernah ketemu, udah lama nggak ngobrol, tapi dia masih menyambut gue dengan
baik, seperti nggak pernah ada insiden “menghilang” di antara kami. Seperti gue
nggak pernah yang namanya sengaja nggak bales chatnya agar dia menjauh. Dia
mengajak ngobrol sekaligus bercanda. Hal yang udah nggak pernah kami lakukan
beberapa bulan belakangan, saat itu kami lakukan kembali. Nggak ada
kecanggungan di antara kami. Kami seperti teman lama yang baru dua jam doang
nggak ngobrol. Padahal kami berbulan-bulan putus komunikasi.
Saat pemungutan suara berlangsung, gue sibuk mencatat ini
itu, dia memperhatikan gue dari jauh. Sesekali saat gue terlihat jenuh, dia
memanggil gue dan meledek gue. Gue cukup terhibur dengan tingkahnya, sehingga
tugas gue pun nggak terlalu membosankan buat gue. Saat jam makan siang, yang
lain udah dapet nasi bungkus dan gue belom, dia menawarkan untuk makan bakso di
suatu tempat untuk mengganjal perut gue. Tapi gue tolak, gue nggak mau mulai
merepotkan dia lagi seperti dulu.
Yang paling berkesan dari semua hal yang dia lakukan saat
itu adalah, ketika ternyata form yang gue isi untuk diberikan kepada kordinator
lapangan salah, dia menelpon gue dan memberikan tumpangan untuk menuju TPS. Dia
menjemput gue dan mengantar gue pulang setelah semua urusan selesai. Dia begitu
baik sama gue... tapi gue begitu jahat. Setelah tugas menjadi saksi selesai,
gue kembali menghilang dari hidupnya. Gue nggak menegur dia. Dia komen pada foto
saat gue bertugas menjadi saksi, gue hanya membalas sekadarnya karena gue nggak
mau terlibat perbincangan panjang dengannya.
Kami pun kembali putus komunikasi, lebaran kemaren dia WA
mengucapkan minal aidin. Dia yang WA gue duluan. Dia yang minta maaf duluan.
Dia yang melakukan itu semua duluan. See? Walau gue memperlakukan dia dengan
kurang baik, tapi dia tetap memperlakukan gue dengan baik. Dia nggak pernah
menuntut gue untuk bersikap baik juga ke dia. Dia nggak pernah menuntut untuk
kembali dekat seperti dulu. Dia nggak pernah menuntu apa-apa. Dia hanya
melakukan apa yang ia ingin lakukan untuk gue. Itulah ketulusan. Itulah bentuk
ketulusan yang selama ini nggak terlihat oleh mata hati gue. Dan, gue baru
menyadarinya semalam saat teman BBM gue menjelaskan apa itu ketulusan.
Bagaimana cara membedakan ketulusan yang benar benar tulus dengan ketulusan
palsu yang sering digembar-gemborkan pria pria bermulut manis.
Pelajaran berharga yang dapat gue petik, ketika kita
menuntut ketulusan apakah kita sudah benar-benar membuka mata hati kita pada
kebaikan orang-orang di sekitar kita? Apakah kita sudah pula tulus pada mereka
atau hanya sekedar menuntut ketulusan tanpa pernah berbuat tulus untuk orang
lain?
So, guys, semoga kalian dapat pula mengambil pembelajaran
dari kisah gue di atas ^_^
0 komentar:
Posting Komentar
Ngasih komentar di blog ini termasuk sedekah loh :p